Selasa, 21 Juli 2009

Karena Kita adalah "Saudara"

Kuawali kisah ini dengan sebuah perjalanan. Perjalanan antara Jakarta dan Tasikmalaya, sebuah perjalanan yang dapat ditempuh dalam waktu lima jam. Karena satu alasan, kami pun memilih untuk berangkat sejak malam hari meskipun acara yang akan kami datangi baru dimulai sekitar pukul sembilan pagi keesokan harinya. Pukul 2 dini hari kami pun tiba di Ciawi, Tasikmalaya. Sesuai dengan rencana, Kami pun segera mencari masjid terdekat untuk sekadar rehat menanti datangnya pagi.
Masjid telah di depan mata namun pintunya terkunci rapat tak mau mempersilakan siapa saja untuk memasukinya. Kami pun rehat sejenak di serambinya menanti fajar tiba. Dingin sekali udara di daerah tersebut, tapi istirahat terasa begitu nyenyak beralaskan tikar seadanya.
Subuh menjelang dan seorang bapak paruh baya mulai membuka pintu masjid, sholat malam dan mengaji di dalamnya. Kami pun terbangun, mengikuti apa yang dilakukannya. Setelah adzan subuh, beliau menghampiri kami. Sedikit membuka kata untuk mengakrabkan suasana. Awalnya beliau berbahasa Indonesia, namun setalah tahu ada di antara rombongan kami orang Sunda, beliaupun melanjutkan bicaranya dengan Bahasa Sunda. Kami yang tak paham dialog itu hanya bisa tersenyum, tersenyum, dan tersenyum.
Di akhir cerita, beliau mengundang kami ke rumahnya. Kami pun bahagia, menemukan sosok yang begitu mulia.
Setelah subuhpun beliau masih terus mengingatkan kami untuk tak lupa mampir ke rumahnya.
Kami tak mampu menolak karena rumahnya hanya sejengkal dari masjid tempat kami berada.
Pagi hari kami pun singgah. Seisi keluarga begitu bahagia menyambut. Kami pun disuguhi beragam hidangan layaknya sahabat yang lama tak bersua. Istri beliau juga menawari kami untuk membersihkan diri di satu-satunya kamar mandi keluarga tersebut.
Begitu indah, meski kami merasa canggung karenanya.
Berkali-kali kami mengucap terima kasih untuk ini semua.
Kami bukan saudara, kami juga bukan kawan lama, apalagi keluarga. Namun beliau tetap meyakinkan kami. Kita sesama Muslim dan karenanya kita adalah Saudara.
Terima kasih kepada beliau sekeluarga, yang memberi ketulusan dan mengingatkan kami apa hakikat saudara.

Sejenak aku teringat kejadian dua hari lalu
Dua buah bom yang meluluhlantakkan Jakarta, pelakunya tak tahu entah di mana. Dan mereka senantiasa memanfatkan "ketulusan" seisi negeri untuk tamu-tamunya. Mereka merasa aman karena tuan rumah selalu ikhlas menyambut tamu meski belum paham tamu itu siapa.

Semoga kita benar-benar tersadar, mengapa kita adalah saudara. Saudara yang tulus berbagi, bukan saudara yang berniat menyakiti.

Karena kita adalah "Saudara"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar