Selasa, 27 Oktober 2009

Antara H dan K (Sebuah Catatan atas Bentuk Pelayanan Publik)

"Mas, berapa tarif untuk membuat kartu "P" ini?" seseorang bertanya kepadaku di saat antri di loket pembayaran Kantor H
"275 ribu mas". Kujawab berdasarkan informasi seorang teman yang telah lebih dulu mengurus pembuatan kartu "P" ini.
"Masih ada biaya lain-lain ga mas?" Tanyanya kembali
Dalam hati aku berkata, "biaya lain-lain apaan nih?"
Aku pun menjawab, "Setahu saya cuma itu mas, perkara biaya lainnya saya belum tahu."
Sesaat kemudian, seorang temannya datang dan merekapun ngobrol berdua.
"Bro, kayaknya masih lama nih. Antrinya panjang banget, udah gitu bayarnya mahal dan pelayanannya ga memuaskan" Ujar seorang teman yang baru saja datang tersebut.
"Beda banget lho sama pas kemaren aku ngurus pembuatan kartu "N" di Kantor K. Baru masuk sudah disambut dengan baik, cuma nyerahin KTP, udah gitu tinggal nunggu bentar dan eng ing eng, kartu dah jadi. Gratis pula." Lanjutnya
"Ga papa lah, aku kan lagi butuh. ikutin prosedur mereka aja lah."
"Tapi bro, masak aku tadi dibilangin mas kartunya baru jadi tanggal 26 sekarang baru tanggal 23. tanggal 26 itu hari apa ya? Padahal kemaren pegawai yang ngurusin bilang kalo hari ini dah jadi. Bikin bete deh."

Aku tersenyum mendengar perbincangan mereka. Aku seorang PNS tapi bukan di layanan publik. Meski begitu, aku tahu kesulitan yang tengah mereka hadapi. Miris juga mendengar mereka membanding-bandingkan dua institusi pelayanan publik yang berbeda 180 derajat dalam memberikan pelayanan. Di satu sisi, pelayanan prima diberikan sejalan dengan reformasi birokrasi yang kini terus didengung-dengungkan pemerintah. Di sisi lain, pelayanan pola lama dengan birokrasi yang berbelit-belit masih saja dijalankan.
Kemana seharusnya arah reformasi birokrasi dijalankan. Semua tentu berharap pemerintah dapat memberikan layanan yang cepat, murah, dan memadai di segala bidang.

Selasa, 21 Juli 2009

Karena Kita adalah "Saudara"

Kuawali kisah ini dengan sebuah perjalanan. Perjalanan antara Jakarta dan Tasikmalaya, sebuah perjalanan yang dapat ditempuh dalam waktu lima jam. Karena satu alasan, kami pun memilih untuk berangkat sejak malam hari meskipun acara yang akan kami datangi baru dimulai sekitar pukul sembilan pagi keesokan harinya. Pukul 2 dini hari kami pun tiba di Ciawi, Tasikmalaya. Sesuai dengan rencana, Kami pun segera mencari masjid terdekat untuk sekadar rehat menanti datangnya pagi.
Masjid telah di depan mata namun pintunya terkunci rapat tak mau mempersilakan siapa saja untuk memasukinya. Kami pun rehat sejenak di serambinya menanti fajar tiba. Dingin sekali udara di daerah tersebut, tapi istirahat terasa begitu nyenyak beralaskan tikar seadanya.
Subuh menjelang dan seorang bapak paruh baya mulai membuka pintu masjid, sholat malam dan mengaji di dalamnya. Kami pun terbangun, mengikuti apa yang dilakukannya. Setelah adzan subuh, beliau menghampiri kami. Sedikit membuka kata untuk mengakrabkan suasana. Awalnya beliau berbahasa Indonesia, namun setalah tahu ada di antara rombongan kami orang Sunda, beliaupun melanjutkan bicaranya dengan Bahasa Sunda. Kami yang tak paham dialog itu hanya bisa tersenyum, tersenyum, dan tersenyum.
Di akhir cerita, beliau mengundang kami ke rumahnya. Kami pun bahagia, menemukan sosok yang begitu mulia.
Setelah subuhpun beliau masih terus mengingatkan kami untuk tak lupa mampir ke rumahnya.
Kami tak mampu menolak karena rumahnya hanya sejengkal dari masjid tempat kami berada.
Pagi hari kami pun singgah. Seisi keluarga begitu bahagia menyambut. Kami pun disuguhi beragam hidangan layaknya sahabat yang lama tak bersua. Istri beliau juga menawari kami untuk membersihkan diri di satu-satunya kamar mandi keluarga tersebut.
Begitu indah, meski kami merasa canggung karenanya.
Berkali-kali kami mengucap terima kasih untuk ini semua.
Kami bukan saudara, kami juga bukan kawan lama, apalagi keluarga. Namun beliau tetap meyakinkan kami. Kita sesama Muslim dan karenanya kita adalah Saudara.
Terima kasih kepada beliau sekeluarga, yang memberi ketulusan dan mengingatkan kami apa hakikat saudara.

Sejenak aku teringat kejadian dua hari lalu
Dua buah bom yang meluluhlantakkan Jakarta, pelakunya tak tahu entah di mana. Dan mereka senantiasa memanfatkan "ketulusan" seisi negeri untuk tamu-tamunya. Mereka merasa aman karena tuan rumah selalu ikhlas menyambut tamu meski belum paham tamu itu siapa.

Semoga kita benar-benar tersadar, mengapa kita adalah saudara. Saudara yang tulus berbagi, bukan saudara yang berniat menyakiti.

Karena kita adalah "Saudara"

Selasa, 30 Juni 2009

Kisah sepotong lagu

Satu satu aku sayang ibu
Dua dua juga sayang ayah
Tiga tiga sayang adik kakak
Satu dua tiga sayang semuanya

Sepenggal lagu sederhana namun penuh makna. Demikian kiranya yang bisa digambarkan atas lagu tersebut. Perasaan cinta kepada keluarga sengaja ditumbuhkan pada diri seorang anak.
Sedari kecil, anak harus diarahkan pada sifat-sifat cinta kasih sayang terhadap keluarganya. Hal ini sangat diperlukan mengingat kondisi sosial kemasyarakatan yang makin tidak karuan.

Menjadikan anak sebagai anak babysitter adalah salah satu bentuk pergeseran nilai kehidupan masyarakat saat ini. Anak menjadi tidak kenal keluarganya, rasa cinta, kasih sayang, dan kehangatan keluarga tergantikan dengan sesuatu yang berdampak pada sisi batiniyah seorang anak. Jangan pernah mengatakan kalau dalam menjalin hubungan dengan anak itu tergantung kualitasnya bukan kuantitasnya. Hal itu semata-mata untuk menutupi ketidakmampuannya memberikan waktu bagi perkembangan anak.

Jangan sampai ada lagu:
Satu satu aku sayang babysitterku
Dua dua ayah ibu cari nafkah
Tiga tiga kakak sibuk sekolah
Satu dua tiga hidupku ga bergairah



Selasa, 09 Juni 2009

Apa itu elegi?

Elegi adalah petak umpet dimana kau selalu bisa sembunyi tanpa ditemukan kembali

Elegi adalah penelpon dari jauh yang rajin mengatakan cinta padamu dalam bahasa yang tak kau mengerti

Elegi adalah sebuah titik yang tak pernah kau baca walau selalu ada diakhir kata

Elegi adalah kata. Kata yang bukan mutiara. Yang bukan pantun. Yang bukan haiku apalagi puisi. Elegi adalah kata. Kata-kata yang cuma suara.

Elegi adalah dua bus dan rentetan motor mengekor membawa air mata dari jauh

Elegi adalah sebuah kelas dan selalu ada yang tak bisa masuk

Elegi adalah satu kolom daftar hadir kuliah yang satu akan melompong hingga akhir

Adalah jalanan jogja – wonogiri yang ditumpahi matahari senja

Adalah makan siang dan sedikit “sangu” dari seorang ibu yang tidak tersampaikan kecuali pada jerit ambulans

Adalah musik metal filter rokok dan merah anggur yang bingung harus menghamba pada siapa

Elegi adalah kata. Kata yang bukan mutiara. Yang bukan pantun. Yang bukan haiku apalagi puisi. Elegi adalah kata. Kata-kata dalam surat nyasar. Yang salah alamat. Salah waktu. Salah orang. Tapi akhirnya dibaca juga.

alwiTHELONEWOLF
early Sept ‘08

El Syahid : Elegi Syair Kehidupan

................................................................................................................................................................
Demikianlah kehidupan, titik-titik kosong yang perlu kita isi dengan syair-syair hingga titik itu berakhir di ujung perjalanan.
Ya, perjalanan kisah hidup manusia.